Sebutan atau julukan dari Kota Banyuwangi

| Kamis, 19 Februari 2015
Banyuwangi, selain dikenal memiliki keragaman budaya, kesenian dan tradisi, juga menyimpan kekayaan tempat wisata yang luar biasa, mulai dari dataran tinggi, pantai dan kawasan hutan dengan kekayaan flora dan fauna yang tak ternilai. Dengan segala potensi dan sumber daya yang dimilikinya, tidak heran kalau kemudian muncul berbagai sebutan atau julukan untuk kabupaten Banyuwangi.
Diantara berbagai julukan tersebut, ada yang populer dan telah melekat di hati masyarakat Banyuwangi, ada yang sempat populer sesaat kemudian ditinggalkan atau tidak digunakan lagi, namun ada juga sebutan untuk Banyuwangi yang kurang memasyarakat, meskipun sebetulnya sebutan atau julukan tersebut masuk akal dan pantas disematkan untuk Banyuwangi.
Inilah berbagai sebutan atau istilah yang pernah ada, yang pantas disandang atau yang sangat populer bagi kabupaten Banyuwangi.
Banyuwangi Kota Pisang
Banyuwangi pernah dikenal sebagai kota pisang. Sebutan ini bermula dengan banyaknya tanaman pisang di Banyuwangi sekitar tahun 1980-an. Pada saat itu penduduk Banyuwangi banyak yang menanam pohon pisang di pekarangan rumah maupun kebun miliknya. Salah satu pisang Banyuwangi yang populer adalah pisang sobo, yang di daerah lain disebut pisang kapok atau pisang kapuk.
Memasuki era 90-an pohon pisang mulai berkurang. Puncaknya terjadi pada tahun 2003, akibat serangan mematikan virus trichodarma, ribuan pohon pisang di banyuwangi sulit berbuah dan berkembangbiak, dan akhirnya mati. Buntutnya,  produksi pisang Banyuwangi menurun drastis. Dari 86 ribu ton di tahun 2002, tinggal 32 ribu ton pada tahun 2003. Hal ini diikuti berkurangnya luas lahan pohon pisang dari 6,2 ribu hektar menjadi 2,5 ribu hektar.
Bersama dengan hilangnya pohon pisang, sebutan sebagai kota pisang pun tinggal gemanya saja. Pada saat ini, generasi muda Banyuwangi lebih mengenal pisang Banyuwangi lewat penganan ringan sale pisang atau keripik pisang kapok merah, sebagai salah satu jenis oleh-oleh khas Banyuwangi. Setidaknya hal ini bisa dimaknai sebagai bentuk upaya pelestarian sisa-sisa kejayaan pisang Banyuwangi di masa lalu.
Banyuwangi Lumbung Padi
Prestasi Banyuwangi sebagai daerah produsen padi sudah teruji. Jika Jawa Timur adalah lumbung padi nasional, karena tercatat sebagai provinsi penghasil beras tertinggi di Indonesia, sebanyak 1,1 juta ton, maka Banyuwangi adalah lumbung padi Jawa Timur. Bahkan sumbangsih produksi beras dari banyuwangi cukup signifikan dalam menyokong penyediaan beras nasional.
Produktivitas beras Banyuwangi adalah 6,5 (kw/ha) kuintal per hektare  hingga 6,7 (kw/ha). Angka tersebut melampaui produktivitas padi nasional yakni 5,9 kw/ha hingga 6,00 kw/ha.
Pada tahun 2011, akibat serangan hama ganas produksi padi Banyuwangi memang sempat menurun menjadi 761.300 ton dari tahun sebelumnya  2010 sebesar 833.913 ton. Namun, meski produksi beras anjlok, tapi produktivitasnya tetap naik. Bahkan di tahun 2012 lalu, Kabupaten Banyuwangi mampu bangkit dengan produksi berasnya diprediksi mencapai 900 ton.
Atas prestasi Banyuwangi mempertahankan predikat sebagai salah satu lumbung padi nasional, pada tahun 2012 Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memberikan penghargaan peningkatan produksi beras nasional (P2BN) kepada Bupati Banyuwangi. Kabupaten Banyuwangi dinilai berhasil memberikan kontribusi pada produksi beras nasional sekaligus berhasil meningkatkan produktivitas beras.
Sukses Banyuwangi sebagai lumbung padi ini tidak terlepas dari peran tempat penggilingan yang tersebar di berbagai penjuru Banyuwangi. Dari 24 kecamatan di Banyuwangi, lebih dari 30 tempat yang memiliki tempat penggilingan gabah dalam skala raksasa. Diperkirakan, jumlah keseluruhan mencapai lebih dari 100 tempat penggilingan padi, baik yang berskala besar, sedang maupun kecil.
Jadi, predikat sebagai kota penghasil padi pantas disandang Banyuwangi.
Banyuwangi Kota Bahari
Sebutan sebagai kota bahari juga pantas disandang Banyuwangi. Hal ini didukung oleh fakta-fakta berikut :
-  Banyuwangi memiliki garis pantai sepanjang 175,8 km yang membentang dari timur hingga ke selatan, yaitu antara Kecamatan Wongsorejo hingga Kecamatan Pesanggaran, yang merupakan potensi yang sangat besar bagi pengembangan industri dan pariwisata.
- Banyuwangi memiliki sejumlah pantai yang terkenal dengan keindahan dan keunikannya. Misalnya Pantai Plengkung yang disukai para selancar profesional karena ombaknya yang berkelas dunia, begitu juga dengan pantai Pulau Merah yang tekstur pantai dan gelombangnya tidak kalah menawan, terdapat Penangkaran penyu di Sukamade dan pantai Ngagelan, Gugusan karang yang indah di Wongsorejo, hutan mangrove di Bedul yang memiliki 27 jenis mangrove terlengkap di Indonesia, pantai Rajekwesi yang pasirnya memiliki kandungan biji besi, pantai Pancur dengan pasir gotrinya, pantai Triangulasi dengan pasir putihnya dan keindahan panoramanya, pantai Parang Ireng dengan pasirnya yang hitam legam, pantai Teluk Hijau dengan airnya yang berwarna kehijauan.
- Keberadaan Muncar sebagai daerah penghasi ikan terbesar kedua di Indonesia setelah Bagan siapi-api di Sumatera utara. Bahkan menurut data terakhir, produksi ikan Banyuwangi sudah melampaui Bagan Siapi-api. Ini berarti, saat ini Banyuwangi adalah penghasil ikan terbesar di Indonesia.
- Banyuwangi juga memiliki wilayah tambak udang seluas 1.380 hektare dengan produksi 10 ton per tahun, yang mencukupi 30% dari kebutuhan di Jawa Timur.
- Sebagai daerah penghasil ikan terbesar, Banyuwangi juga identik dengan kuliner seafoodnya. Salah satunya pantai Blimbingsari yang terkenal dengan sajian ikan bakarnya. Belum lengkap ke Blimbingsari kalau belum menikmati ikan bakarnya. Keberadaan rumah makan sampai warung tenda di pinggir jalan yang menawarkan menu masakan laut banyak dijumpai di berbagai tempat di Banyuwangi.
Banyuwangi Kota Petualangan
Banyuwangi adalah satu-satunya daerah di Indonesia yang memiliki 3 Taman Nasional di wilayahnya. Yaitu Taman Nasional Alas Purwo, Taman Nasional Meru Betiri dan Taman Nasional Baluran.
Secara geografis Banyuwangi juga memiliki potensi alam yang lengkap: di sebelah barat terdapat gugusan pegunungan Ijen, laut Selat Bali di sebelah timur, hutan belantara di sisi selatan dan utara, dan pantai dengan ombak yang bergulung-gulung di sebelah selatan yang berbatas dengan lautan Hindia.
Kondisi tersebut menunjukkan kekayaan alam Banyuwangi yang luar biasa, yang sangat potensial dikembangkan sebagai industri pariwisata yang menawarkan sejuta petualangan. Banyuwangi dengan kekayaan laut, gunung dan hutan adalah surganya wisata petualang alam yang lengkap.
Banyuwangi Ijo Royo-Royo
Banyuwangi Ijo Royo-Royo (BIRR) adalah suatu program penghijauan dari Pemkab Banyuwangi dibawah pimpinan Bupati Ratna Ani Lestari yang bertujuan untuk menciptakan Banyuwangi yang indah, teduh, sejuk dan ijo royo-royo, tidak banjir ketika hujan karena semua wilayah sudah ditanami pohon-pohon penahan erosi, sehingga diharapkan ke depan Banyuwangi bebas dari banjir.
Sangat disayangkan, program yang pro lingkungan sehat dan bersih ini kurang mendapat dukungan semua pihak. Tujuan menciptakan lingkungan yang bersih bertolak belakang dengan buruknya penanganan sampah, sehingga justru menimbulkan permasalahan lingkungan. Alih-alih mendapat penghargaan Adipura, justru Banyuwangi pernah dinobatkan sebagai kota terkotor pada tahun 2011 selama pelaksanaan program ini. Sangat ironis memang.
Bumi Blambangan
Sejarah berdirinya Banyuwangi tidak bisa dilepaskan dari sejarah kerajaan Blambangan, karena Blambangan merupakan cikal bakal dari Banyuwangi.
Blambangan adalah kerajaan yang semasa dengan kerajaan Majapahit bahkan dua abad lebih panjang umurnya. Blambangan adalah kerajaan yang paling gigih bertahan terhadap serangan Mataram dan VOC serta Blambanganlah kerajaan yang paling akhir ditaklukkan penjajah Belanda di pulau Jawa.
Keruntuhan Blambangan dimulai dengan invasi VOC untuk menguasai bumi Blambangan yang sebelumnya menjalin hubungan dagang dengan Inggris. VOC tidak menginkan Blambangan yang saat itu sudah mulai berkembang menjadi pusat perdagangan dikuasai Inggris. Hal ini menyulut perang besar selama lima tahun (1767-1772).
Dalam peperangan itu terdapat satu pertempuran dahsyat yang disebut Puputan Bayu sebagai merupakan usaha terakhir Kerajaan Blambangan untuk melepaskan diri dari belenggu VOC. Pertempuran ini berakhir dengan kemenangan VOC, yang sekaligus menandai berakhirnya kerajaan Blambangan. Selanjutnya VOC mengangkat R. Wiroguno I (Mas Alit) sebagai bupati Banyuwangi pertama.
Dan peristiwa perang Puputan Bayu yang mencapai puncaknya pada tanggal 18 Desember 1771 ini, kemudian dijadikan sebagai hari jadi Banyuwangi.
Dengan demikian, menyebut Banyuwangi sebagai bumi Blambangan sesungguhnya menyiratkan upaya mengingatkan generasi muda Banyuwangi untuk tidak melupakan tentang sejarah, asal-usul dan latar belakang berdirinya Kabupaten Banyuwangi yang kita kenal sekarang. Bahwa Banyuwangi tidak lain adalah Blambangan di masa lampau.
Banyuwangi Kota Gandrung
Gandrung adalah kesenian tari yang sangat populer di Banyuwangi. Kata “Gandrung” diartikan sebagai terpesonanya masyarakat Blambangan yang agraris kepada Dewi Sri sebagai Dewi Padi sebagai perwujudan rasa syukur masyarakat setiap habis panen.
Tari Gandrung lahir dan tumbuh pesat di Banyuwangi. Di sekolah-sekolah, tarian ini banyak diajarkan sebagai kegiatan ekstrakurikuler, begitu juga di masyarakat banyak sanggar-sanggar tari yang melestarikannya. Tari Gandrung sering dipentaskan pada berbagai acara, seperti perkawinan, petik laut, khitanan, tujuh belasan dan acara-acara resmi maupun tak resmi.
Maka tidak heran tarian ini sangat populer dan telah menjadi ciri khas dari daerah Banyuwangi, hingga tidak salah jika Banyuwangi sering diidentikkan dengan Gandrung, dan di berbagai sudut wilayah Banyuwangi banyak dijumpai patung penari Gandrung, salah satunya di pantai Dodol.
Dewasa ini Gandrung telah menjadi ikon atau maskot pariwisata Banyuwangi. Pada event tahunan Banyuwangi Festival, tari Gandrung dipertunjukan dalam bentuk pagelaran tarian massal dengan nama Gandrung Sewu. Hal ini merupakan salah satu bentuk pengakuan terhadap keberadaan kesenian Gandrung sebagai identitas kota Banyuwangi sebagai Kota Gandrung.
Banyuwangi Kota Osing
Banyuwangi yang memiliki topografi yang unik dan penduduk yang multikultur, dibentuk oleh 3 elemen masyarakat yang secara dominan membentuk stereotype karakter Banyuwangi, yaitu Jawa Mataraman, Madura – Pandalungan (Tapal Kuda) dan Osing. Meskipun secara proporsi bukan merupakan penduduk mayoritas, suku osing adalah penduduk asli Banyuwangi. Orang-orang Osing adalah masyarakat Blambangan yang tersisa. Sebagai keturunan kerajaan Blambangan, suku osing mempunyai adat-istiadat, budaya maupun bahasa yang berbeda dari masyarakat lainnya (Jawa, Madura dan Bali).
Keberadaan budaya dan kesenian suku osing mendapat mendapat tempat di hati masyarakat, tumbuh subur dan terus berkembang di Banyuwangi sampai sekarang. Dalam berbagai acara budaya dan pariwisata, seni dan budaya Osing selalu ditampilkan sebagai salah satu bagian pertunjukan. Bahasa osing pun banyak digunakan dalam pergaulan sehari-hari, bahkan oleh mereka yang bukan keturunan osing sekalipun. Berdasarkan data tahun 1987, dari jumlah 175 Desa/Kelurahan di Kabupaten Banyuwangi, 94 diantara penduduknya menggunakan bahasa Osing.
Ini menunjukkan bahwa suku osing dan budayanya telah diakui dan diterima sebagai elemen khas orang Banyuwangi. Banyak generasi muda Banyuwangi yang dengan bangga menyebut dirinya sebagai Laros, lare osing, sebagai identitasnya. Barangkali sebuah kebanggaaan yang sama seperti halnya orang Malang yang menyebut dirinya Arema.
Banyuwangi Kota Santet
Barangkali diantara sejumlah sebutan untuk Banyuwangi, predikat sebagai kota santet ini yang paling menimbulkan kontroversi. Suka atau tidak, sebutan ini masih melekat di dalam benak orang di luar Banyuwangi. Bahkan pada  sebagian orang Banyuwangi sendiri. Misalnya dengan mengabadikan dalam tulisan The Santet Java pada kaos oblong.
Label sebagai kota santet bermula dari peristiwa memilukan ketika 100 orang lebih dibunuh secara misterius karena dituduh memiliki ilmu santet atau yang dikenal luas masyarakat dengan “Tragedi Santet” Tahun 1998.
Akibat peristiwa itu Banyuwangi pun populer disebut sebagai Kota Santet, yang berdampak sangat merugikan citra masyarakat Banyuwangi secara keseluruhan. Stigma negatif pun menjadi melekat pada setiap orang Banyuwangi. Dengan sebutan yang menakutkan itu, secara psikologis membuat orang menjadi takut pergi ke Banyuwangi. Begitu juga bagi orang Banyuwangi yang merantau di luar daerahnya, keberadaannya sering menimbulkan sikap curiga dari orang di sekelilingnya ketika mengetahui asal daerahnya.
Peristiwa kelam itu sudah lama berlalu namun kesan dan sebutan Banyuwangi sebagai kota santet masih bertahan sampai sekarang. Hal ini seakan-akan menggambarkan bahwa penggunaan ilmu santet  dainggap wajar dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan bermasyarakat di Banyuwangi sehari-harinya.
Meskipun harus diakui santet itu memang ada di tengah masyarakat Banyuwangi, namun orang luar sering salah kaprah dalam memahami santet Banyuwangi dengan hanya mengaitkan dengan ilmu sihir.
Padahal ilmu santet dalam masyarakat Banyuwangi yang lebih banyak berkembang adalah ilmu santet yang berkaitan dengan pengasihan, yaitu cara bagaimana menimbulkan rasa simpati orang lain kepada yang menggunakan jasa ilmu tersebut. Bukan jenis santet merah yang bertujuan melumpuhkan orang secara fisik dan batinnya, atau santet hitam yang bertujuan menghilangkan nyawa orang lain. Dan yang lebih penting, penggunaan santet hanya dilakukan sebagian kecil orang, dan bukan merupakan kebiasaan atau budaya orang Banyuwangi. Bahwa ada sebagian masyarakat Banyuwangi yang akrab dengan dunia santet,  itu tidak mewakili tipikal keseluruhan masyarakat Banyuwangi.
Di sisi lain, kita juga tidak boleh menutup mata bahwa yang namanya santet itu di Indonesia juga banyak terdapat di berbagai daerah lain. Karena itu penyebutan kota santet untuk kota seindah Banyuwangi sangat tidak tepat, tidak beralasan, dan tidak seharusnya digunakan lagi, karena tidak ada manfaat yang diperoleh.
The Sunrise Of Java
Ini adalah sebutan baru untuk  Banyuwangi. Pemerintah Kabupaten Banyuwangi menggunakan tagline baru tersebut untuk mempromosikan Banyuwangi sebagai destinasi wisata. Sebutan ini menggambarkan bahwa Banyuwangi merupakan tempat terbitnya mentari pagi pertama di Pulau Jawa. Di saat orang-orang di kota lain di pulau jawa masih terlelap dalam tidurnya, masyarakat Banyuwangi sudah menikmati hangatnya sinar mentari pagi. Letak Banyuwangi yang berada di ujung paling timur Pulau Jawa, sangat pas dengan dengan jargon ini. Karena tidak ada satu pun daerah lain di Pulau Jawa yang bisa mengklaimnya selain Banyuwangi.
Di belahan dunia mana pun, spot terbaik dan paling favorit untuk melihat sunrise atau matahari terbit adalah pantai atau pegunungan. Selain memiliki Gunung Ijen, Banyuwangi yang memiliki garis pantai terpanjang di Jawa Timur ini, menjanjikan banyak pilihan spot untuk melihat sunrise. Banyak tempat strategis untuk melihat sunrise di Banyuwangi, diantaranya pantai Cacalan, pantai boom, G Ijen, pantai Bama di Taman Nasional Baluran, pantai Grajagan, dan gunung Ijen.
Banyuwangi Kota Kopi
Dari semua julukan untuk Banyuwangi, mungkin yang masih belum banyak diketahui dan perlu banyak sosialisasi adalah sebutan Banyuwangi Kota Kopi. Banyuwangi sebagai Kota Kopi bukanlah sebutan yang mengada-ada. Ada berbagai alasan yang kuat untuk mengukuhkan sebutan Kota Kopi untuk Banyuwangi, diantaranya :
1. Banyuwangi dikenal sebagai daerah penghasil kopi berkualitas tinggi. Kopi Banyuwangi telah diakui sebagai salah satu kopi terbaik di dunia. Kualitas kopi Banyuwangi berada di peringkat 4 setelah Jamiaca, Hawai dan Toraja. Pada ajang Miss Coffee International 2012 yang berlangsung di Bali, para peserta yang berasal dari seluruh dunia diajak berkunjung ke Banyuwangi untuk mengenal kopi Banyuwangi. Mereka belajar menyangrai dan meracik kopi di desa Kemiren, dan meninjau perkebunan kopi di lereng gunung Ijen. Dipilihnya Banyuwangi karena dianggap memiliki kopi Robusta dan Arabica dengan kualitas rasa yang unik untuk dikenalkan kepada dunia. Ini menunjukkan bahwa kopi banyuwangi, selain mempunyai potensi besar untuk dikembangkan, juga memiliki kualitas yang baik
2. Kopi Banyuwangi memiliki cita rasa yang khas dan unik, terutama kopi yang dihasilkan dari perkebunan yang berada di sisi timur dan sisi barat Gunung Ijen. Kopi yang dihasilkan antara sisi barat dan timur Gunung Ijen memiliki rasa yang berbeda. Perkebunan di sisi Timur menghadap laut dipengaruhi angin laut dan mendapat sinar matahari yang lebih banyak, sehingga kadar garamnya tinggi. Sebaliknya perkebunan di sisi barat dipengaruhi oleh angin gunung. Namun keduanya menghasilkan kopi yang sama enaknya dan bercita rasa tinggi.
3. Budaya minum kopi telah menjadi bagian dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Banyuwangi. Hal ini bisa dibuktikan dengan banyaknya cafe, baik yang berupa kedai kopi/coffee shop maupun keberadaan warung kopi kaki lima yang tersebar di semua daerah/kecamatan Banyuwangi.
4. Menurut data, produksi kopi Banyuwangi yang merupakan komoditas eksport yang diusahakan oleh perkebunan besar / negara / swasta seluas 5.445 Ha dengan produksi 3.065 ton, sedang perkebunan rakyat seluas 5.138 Ha dengan produksi sebanyak 3.667 ton, dengan varietas / klon robusta, yang diusahakan pada ketinggian sampai 700 meter diatas permukaan laut, sedang pada daerah diatas 700 sampai dengan 1000 meter diatas permukaan laut diupayakan untuk klon arabika. Sumber lain menyebutkan, pada tahun 2006 komoditas kopi Banyuwangi yang berada di dalam kawasan hutan produksi menghasilkan kontribusi sebesar 10.643 ton atau setara dengan Rp 247.230.000.
5. Untuk memperkenalkan potensi Banyuwangi sebagai penghasil kopi terbesar di Jawa Timur kepada masyarakat luas, pada 10 Desember 2011 diadakan Festival Sangrai Kopi masal  di jalanan desa Kemiren sepanjang 1 km yang diikuti 270 peserta. Kegiatan tersebut tercatat dalam Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI) sebagai Rekor Menyangrai Kopi Terpanjang dan Terbanyak di Indonesia.
Fakta pendukung lain yang memperkuat positioning Banyuwangi sebagai Kota Kopi adalah adanya tradisi yang disebut MANTEN KOPI di lingkungan perkebunan kopi, khususnya di PTP Nusantara XII, Kebun Kaliselogiri, Kalipuro, Banyuwangi.
Di awal musim giling kopi di di PT Perkebunan Nusantara XII Kebun Kaliselogiri, Kecamatan Kalipuro, Banyuwangi ada aktifitas yang disebut RITUAL MANTEN KOPI sebagai wujud panjatan doa masyarakat kepada Tuhan YME, supaya selama proses giling dijauhkan dari berbagai marabahaya serta diberi limpahan rezeki.
Prosesi manten kopi ini  mempertemukan biji kopi “wedok” atau perempuan (terbelah) dengan kopi “lanang” atau laki (bundar).Pertemuan sampel biji kopi wedok dengan biji kopi lanang tersebut diwujudkan dalam bentuk kontrak atau janji antara asisten tanaman (kepala afdeling) dengan manajer kebun yang dulu lebih akrab disapa dengan administrator (adm).
Sebagai kepala afdeling punya tanggung jawab moral kepada manajer kebun supaya terus menjaga kualitas dan kuantitas biji kopi yang dipanen dari kebun yang berada di lereng Gunung Ijen tersebut.
Biji kopi yang berkualitas adalah biji kopi yang dipanen saat biji kopi sudah berwarna merah. Di sinilah asisten tanaman bertanggungjawab untuk tetap menjaga kualitas  biji kopi dengan jumlah produksi yang lebih besar lagi.
Setelah ditandai acara penyerahan biji kopi wedok dan kopi lanang, ritual dilanjutkan dengan memasukkan biji-biji kopi tadi ke mesin penggilingan. Saat itulah penari gandrung dengan iringan musiknya yang rancak menuju ruangan sortasi.
Di ruangan ini tiga penari paju gandrung (tradisional) manari tiada henti. Sebagai kelengkapannya, pihak kebun menyiapkan beberapa sesaji, di antaranya kepala sapi lengkap dengan “ugo rampenya” (perlengkapan sesaji). Setelah itu, para undangan dan seluruh keluarga besar kebun kembali berkumpul di aula untuk menikmati sajian makanan berupa bubur merah, polo pendem, dan  nasi tumpeng. Tidak lupa ayam engkung, yakni ayam kampung utuh yang disajikan setelah diberi rempah- rempah.
Sebelum acara makan bersama dimulai, kegiatan ditutup terlebih dahulu dengan doa bersama yang dipimpin pemuka masyarakat setempat. Kegiatan pentas penari gandrung tradisonal akan dilanjutkan lagi pada malam harinya, selama semalam suntuk.
Menurut Sigit Prakoso, Manajer PTPN XII,  ritual manten kopi di Kebun Kali Selogiri sudah berlangsung sejak puluhan tahun silam. Selain sebagai ungkapan rasa syukur dengan tibanya musim panen kopi, ritual tersebut juga dimaksudkan untuk mempererat tali silaturahim sesama keluarga kebun.
- Sebutan Kota Kopi atau The City of Coffee ini jika dimasyarakatkan, akan menjadi sebutan pertama dan satu-satunya bagi kota di Indonesia. Sesuai dengan Wikipedia Indonesia, belum ada satu pun kota di Indonesia yang mempunyai julukan atau sebutan sebagai Kota Kopi. Sebagai Kota Kopi, Banyuwangi punya slogan “Sekali Seduh, Kita Bersaudara.” Ini menunjukkan bahwa kehangatan secangkir kopi mampu menjadi perekat kebersamaan, meskipun satu sama lain tidak saling mengenal sebelumnya.
Dengan sekilas paparan di atas, maka cukup beralasan bila masyarakat Banyuwangi mengklaim daerahnya sebagai KOTA KOPI. Dalam artian sebagai salah satu daerah penghasil kopi terbanyak di Indonesia, dan mempunyai kualitas kopi internasional, masyarakatnya memiliki kebiasaan minum kopi, dan Banyuwangi juga memiliki salah satu tester dan juri Kopi internasional yang mumpuni, yaitu Setiawan Subekti.
Banyuwangi Kota Festival
Berawal dari sukses penyelenggaraan kegiatan budaya Banyuwangi Ethno Carnival pertama pada tahun 2011 lalu, maka pada tahun-tahun berikutnya seakan tak terbendung lagi semangat dan kegairahan masyarakat Banyuwangi untuk mengangkat potensi dan budaya daerah melalui rangkaian  kegiatan yang dikemas dalam tajuk BANYUWANGI FESTIVAL.
Di kota lain juga punya acara festival. Tapi Festival Banyuwangi berbeda. Karena berlangsung selama 4 bulan berturut-turut, dengan tema dan segmen beragam.
Maka sejak 2012 acara Banyuwangi Ethno Carnival ditahbiskan menjadi agenda tahunan berbarengan dengan kegiatan lain, baik yang bersifat seni, etnik budaya, fashion, sport tourism sampai religi.
Dalam Banyuwangi Festival berbagai ragam acara disajikan sebagai bentuk etalase besar dari potensi wisata dan kekayaan budaya Banyuwangi yang beragam, lengkap dengan kehidupan sosial-budaya masyarakatnya yang terbuka, egaliter, dan mempunyai jiwa seni yang kuat. Sedikitnya ada 8 acara festival yang diadakan di Banyuwangi dalam satu tahun. Diantaranya Banyuwangi Ethno Carnival, Festival Batik, Festival Anak Yatim, Festival Jazz, Festival Kemiren, Festival Pemuda, Festival Kuliner, dan Festival Kuwung.
Sehingga tidak salah jika Banyuwangi disebut sebagai satu-satunya kota yang mempunyai agenda festival terbanyak di Indonesia. Banyuwangi adalah Kota Festival sesungguhnya.

0 komentar:

Posting Komentar

Next Prev

Pages

Text Widget

SEMOGA BERMANFAAT || BY NAUFAL ADITYA
Diberdayakan oleh Blogger.

My Banner

▲Top▲