Diantara berbagai julukan tersebut, ada yang
populer dan telah melekat di hati masyarakat Banyuwangi, ada yang sempat
populer sesaat kemudian ditinggalkan atau tidak digunakan lagi, namun
ada juga sebutan untuk Banyuwangi yang kurang memasyarakat, meskipun
sebetulnya sebutan atau julukan tersebut masuk akal dan pantas
disematkan untuk Banyuwangi.
Inilah berbagai sebutan atau istilah yang pernah ada, yang pantas disandang atau yang sangat populer bagi kabupaten Banyuwangi.
Banyuwangi Kota Pisang
Banyuwangi
pernah dikenal sebagai kota pisang. Sebutan ini bermula dengan
banyaknya tanaman pisang di Banyuwangi sekitar tahun 1980-an. Pada saat
itu penduduk Banyuwangi banyak yang menanam pohon pisang di pekarangan
rumah maupun kebun miliknya. Salah satu pisang Banyuwangi yang populer
adalah pisang sobo, yang di daerah lain disebut pisang kapok atau pisang
kapuk.
Memasuki era 90-an pohon pisang mulai
berkurang. Puncaknya terjadi pada tahun 2003, akibat serangan mematikan
virus trichodarma, ribuan pohon pisang di banyuwangi sulit berbuah dan
berkembangbiak, dan akhirnya mati. Buntutnya, produksi pisang
Banyuwangi menurun drastis. Dari 86 ribu ton di tahun 2002, tinggal 32
ribu ton pada tahun 2003. Hal ini diikuti berkurangnya luas lahan pohon
pisang dari 6,2 ribu hektar menjadi 2,5 ribu hektar.
Bersama dengan hilangnya pohon pisang,
sebutan sebagai kota pisang pun tinggal gemanya saja. Pada saat ini,
generasi muda Banyuwangi lebih mengenal pisang Banyuwangi lewat penganan
ringan sale pisang atau keripik pisang kapok merah, sebagai salah satu
jenis oleh-oleh khas Banyuwangi. Setidaknya hal ini bisa dimaknai
sebagai bentuk upaya pelestarian sisa-sisa kejayaan pisang Banyuwangi di
masa lalu.
Banyuwangi Lumbung Padi
Prestasi
Banyuwangi sebagai daerah produsen padi sudah teruji. Jika Jawa Timur
adalah lumbung padi nasional, karena tercatat sebagai provinsi penghasil
beras tertinggi di Indonesia, sebanyak 1,1 juta ton, maka Banyuwangi
adalah lumbung padi Jawa Timur. Bahkan sumbangsih produksi beras dari
banyuwangi cukup signifikan dalam menyokong penyediaan beras nasional.
Produktivitas beras Banyuwangi adalah 6,5
(kw/ha) kuintal per hektare hingga 6,7 (kw/ha). Angka tersebut
melampaui produktivitas padi nasional yakni 5,9 kw/ha hingga 6,00 kw/ha.
Pada tahun 2011, akibat serangan hama ganas
produksi padi Banyuwangi memang sempat menurun menjadi 761.300 ton dari
tahun sebelumnya 2010 sebesar 833.913 ton. Namun, meski produksi beras
anjlok, tapi produktivitasnya tetap naik. Bahkan di tahun 2012 lalu,
Kabupaten Banyuwangi mampu bangkit dengan produksi berasnya diprediksi
mencapai 900 ton.
Atas prestasi Banyuwangi mempertahankan
predikat sebagai salah satu lumbung padi nasional, pada tahun 2012
Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memberikan penghargaan
peningkatan produksi beras nasional (P2BN) kepada Bupati Banyuwangi.
Kabupaten Banyuwangi dinilai berhasil memberikan kontribusi pada
produksi beras nasional sekaligus berhasil meningkatkan produktivitas
beras.
Sukses Banyuwangi sebagai lumbung padi ini
tidak terlepas dari peran tempat penggilingan yang tersebar di berbagai
penjuru Banyuwangi. Dari 24 kecamatan di Banyuwangi, lebih dari 30
tempat yang memiliki tempat penggilingan gabah dalam skala raksasa.
Diperkirakan, jumlah keseluruhan mencapai lebih dari 100 tempat
penggilingan padi, baik yang berskala besar, sedang maupun kecil.
Jadi, predikat sebagai kota penghasil padi pantas disandang Banyuwangi.
Banyuwangi Kota Bahari
Sebutan sebagai kota bahari juga pantas disandang Banyuwangi. Hal ini didukung oleh fakta-fakta berikut :
- Banyuwangi memiliki garis pantai sepanjang
175,8 km yang membentang dari timur hingga ke selatan, yaitu antara
Kecamatan Wongsorejo hingga Kecamatan Pesanggaran, yang merupakan
potensi yang sangat besar bagi pengembangan industri dan pariwisata.
- Banyuwangi memiliki sejumlah pantai yang
terkenal dengan keindahan dan keunikannya. Misalnya Pantai Plengkung
yang disukai para selancar profesional karena ombaknya yang berkelas
dunia, begitu juga dengan pantai Pulau Merah yang tekstur pantai dan
gelombangnya tidak kalah menawan, terdapat Penangkaran penyu di Sukamade
dan pantai Ngagelan, Gugusan karang yang indah di Wongsorejo, hutan
mangrove di Bedul yang memiliki 27 jenis mangrove terlengkap di
Indonesia, pantai Rajekwesi yang pasirnya memiliki kandungan biji besi,
pantai Pancur dengan pasir gotrinya, pantai Triangulasi dengan pasir
putihnya dan keindahan panoramanya, pantai Parang Ireng dengan pasirnya
yang hitam legam, pantai Teluk Hijau dengan airnya yang berwarna
kehijauan.
- Keberadaan Muncar sebagai daerah penghasi
ikan terbesar kedua di Indonesia setelah Bagan siapi-api di Sumatera
utara. Bahkan menurut data terakhir, produksi ikan Banyuwangi sudah
melampaui Bagan Siapi-api. Ini berarti, saat ini Banyuwangi adalah
penghasil ikan terbesar di Indonesia.
- Banyuwangi juga memiliki wilayah tambak
udang seluas 1.380 hektare dengan produksi 10 ton per tahun, yang
mencukupi 30% dari kebutuhan di Jawa Timur.
- Sebagai daerah penghasil ikan terbesar,
Banyuwangi juga identik dengan kuliner seafoodnya. Salah satunya pantai
Blimbingsari yang terkenal dengan sajian ikan bakarnya. Belum lengkap ke
Blimbingsari kalau belum menikmati ikan bakarnya. Keberadaan rumah
makan sampai warung tenda di pinggir jalan yang menawarkan menu masakan
laut banyak dijumpai di berbagai tempat di Banyuwangi.
Banyuwangi Kota Petualangan
Banyuwangi
adalah satu-satunya daerah di Indonesia yang memiliki 3 Taman Nasional
di wilayahnya. Yaitu Taman Nasional Alas Purwo, Taman Nasional Meru
Betiri dan Taman Nasional Baluran.
Secara geografis Banyuwangi juga memiliki
potensi alam yang lengkap: di sebelah barat terdapat gugusan pegunungan
Ijen, laut Selat Bali di sebelah timur, hutan belantara di sisi selatan
dan utara, dan pantai dengan ombak yang bergulung-gulung di sebelah
selatan yang berbatas dengan lautan Hindia.
Kondisi tersebut menunjukkan kekayaan alam
Banyuwangi yang luar biasa, yang sangat potensial dikembangkan sebagai
industri pariwisata yang menawarkan sejuta petualangan. Banyuwangi
dengan kekayaan laut, gunung dan hutan adalah surganya wisata petualang
alam yang lengkap.
Banyuwangi Ijo Royo-Royo
Banyuwangi
Ijo Royo-Royo (BIRR) adalah suatu program penghijauan dari Pemkab
Banyuwangi dibawah pimpinan Bupati Ratna Ani Lestari yang bertujuan
untuk menciptakan Banyuwangi yang indah, teduh, sejuk dan ijo royo-royo,
tidak banjir ketika hujan karena semua wilayah sudah ditanami
pohon-pohon penahan erosi, sehingga diharapkan ke depan Banyuwangi bebas
dari banjir.
Sangat disayangkan, program yang pro
lingkungan sehat dan bersih ini kurang mendapat dukungan semua pihak.
Tujuan menciptakan lingkungan yang bersih bertolak belakang dengan
buruknya penanganan sampah, sehingga justru menimbulkan permasalahan
lingkungan. Alih-alih mendapat penghargaan Adipura, justru Banyuwangi
pernah dinobatkan sebagai kota terkotor pada tahun 2011 selama
pelaksanaan program ini. Sangat ironis memang.
Bumi Blambangan
Sejarah
berdirinya Banyuwangi tidak bisa dilepaskan dari sejarah kerajaan
Blambangan, karena Blambangan merupakan cikal bakal dari Banyuwangi.
Blambangan adalah kerajaan yang semasa dengan
kerajaan Majapahit bahkan dua abad lebih panjang umurnya. Blambangan
adalah kerajaan yang paling gigih bertahan terhadap serangan Mataram dan
VOC serta Blambanganlah kerajaan yang paling akhir ditaklukkan penjajah
Belanda di pulau Jawa.
Keruntuhan Blambangan dimulai dengan invasi
VOC untuk menguasai bumi Blambangan yang sebelumnya menjalin hubungan
dagang dengan Inggris. VOC tidak menginkan Blambangan yang saat itu
sudah mulai berkembang menjadi pusat perdagangan dikuasai Inggris. Hal
ini menyulut perang besar selama lima tahun (1767-1772).
Dalam peperangan itu terdapat satu
pertempuran dahsyat yang disebut Puputan Bayu sebagai merupakan usaha
terakhir Kerajaan Blambangan untuk melepaskan diri dari belenggu VOC.
Pertempuran ini berakhir dengan kemenangan VOC, yang sekaligus menandai
berakhirnya kerajaan Blambangan. Selanjutnya VOC mengangkat R. Wiroguno I
(Mas Alit) sebagai bupati Banyuwangi pertama.
Dan peristiwa perang Puputan Bayu yang
mencapai puncaknya pada tanggal 18 Desember 1771 ini, kemudian dijadikan
sebagai hari jadi Banyuwangi.
Dengan demikian, menyebut Banyuwangi sebagai
bumi Blambangan sesungguhnya menyiratkan upaya mengingatkan generasi
muda Banyuwangi untuk tidak melupakan tentang sejarah, asal-usul dan
latar belakang berdirinya Kabupaten Banyuwangi yang kita kenal sekarang.
Bahwa Banyuwangi tidak lain adalah Blambangan di masa lampau.
Banyuwangi Kota Gandrung
Gandrung
adalah kesenian tari yang sangat populer di Banyuwangi. Kata “Gandrung”
diartikan sebagai terpesonanya masyarakat Blambangan yang agraris
kepada Dewi Sri sebagai Dewi Padi sebagai perwujudan rasa syukur
masyarakat setiap habis panen.
Tari Gandrung lahir dan tumbuh pesat di
Banyuwangi. Di sekolah-sekolah, tarian ini banyak diajarkan sebagai
kegiatan ekstrakurikuler, begitu juga di masyarakat banyak
sanggar-sanggar tari yang melestarikannya. Tari Gandrung sering
dipentaskan pada berbagai acara, seperti perkawinan, petik laut,
khitanan, tujuh belasan dan acara-acara resmi maupun tak resmi.
Maka tidak heran tarian ini sangat populer
dan telah menjadi ciri khas dari daerah Banyuwangi, hingga tidak salah
jika Banyuwangi sering diidentikkan dengan Gandrung, dan di berbagai
sudut wilayah Banyuwangi banyak dijumpai patung penari Gandrung, salah
satunya di pantai Dodol.
Dewasa ini Gandrung telah menjadi ikon atau
maskot pariwisata Banyuwangi. Pada event tahunan Banyuwangi Festival,
tari Gandrung dipertunjukan dalam bentuk pagelaran tarian massal dengan
nama Gandrung Sewu. Hal ini merupakan salah satu bentuk pengakuan
terhadap keberadaan kesenian Gandrung sebagai identitas kota Banyuwangi
sebagai Kota Gandrung.
Banyuwangi Kota Osing
Banyuwangi
yang memiliki topografi yang unik dan penduduk yang multikultur,
dibentuk oleh 3 elemen masyarakat yang secara dominan membentuk
stereotype karakter Banyuwangi, yaitu Jawa Mataraman, Madura –
Pandalungan (Tapal Kuda) dan Osing. Meskipun secara proporsi bukan
merupakan penduduk mayoritas, suku osing adalah penduduk asli
Banyuwangi. Orang-orang Osing adalah masyarakat Blambangan yang tersisa.
Sebagai keturunan kerajaan Blambangan, suku osing mempunyai
adat-istiadat, budaya maupun bahasa yang berbeda dari masyarakat lainnya
(Jawa, Madura dan Bali).
Keberadaan budaya dan kesenian suku osing
mendapat mendapat tempat di hati masyarakat, tumbuh subur dan terus
berkembang di Banyuwangi sampai sekarang. Dalam berbagai acara budaya
dan pariwisata, seni dan budaya Osing selalu ditampilkan sebagai salah
satu bagian pertunjukan. Bahasa osing pun banyak digunakan dalam
pergaulan sehari-hari, bahkan oleh mereka yang bukan keturunan osing
sekalipun. Berdasarkan data tahun 1987, dari jumlah 175 Desa/Kelurahan
di Kabupaten Banyuwangi, 94 diantara penduduknya menggunakan bahasa
Osing.
Ini menunjukkan bahwa suku osing dan
budayanya telah diakui dan diterima sebagai elemen khas orang
Banyuwangi. Banyak generasi muda Banyuwangi yang dengan bangga menyebut
dirinya sebagai Laros, lare osing, sebagai identitasnya. Barangkali
sebuah kebanggaaan yang sama seperti halnya orang Malang yang menyebut
dirinya Arema.
Banyuwangi Kota Santet
Barangkali
diantara sejumlah sebutan untuk Banyuwangi, predikat sebagai kota
santet ini yang paling menimbulkan kontroversi. Suka atau tidak, sebutan
ini masih melekat di dalam benak orang di luar Banyuwangi. Bahkan pada
sebagian orang Banyuwangi sendiri. Misalnya dengan mengabadikan dalam
tulisan The Santet Java pada kaos oblong.
Label sebagai kota santet bermula dari
peristiwa memilukan ketika 100 orang lebih dibunuh secara misterius
karena dituduh memiliki ilmu santet atau yang dikenal luas masyarakat
dengan “Tragedi Santet” Tahun 1998.
Akibat peristiwa itu Banyuwangi pun populer
disebut sebagai Kota Santet, yang berdampak sangat merugikan citra
masyarakat Banyuwangi secara keseluruhan. Stigma negatif pun menjadi
melekat pada setiap orang Banyuwangi. Dengan sebutan yang menakutkan
itu, secara psikologis membuat orang menjadi takut pergi ke Banyuwangi.
Begitu juga bagi orang Banyuwangi yang merantau di luar daerahnya,
keberadaannya sering menimbulkan sikap curiga dari orang di
sekelilingnya ketika mengetahui asal daerahnya.
Peristiwa kelam itu sudah lama berlalu namun
kesan dan sebutan Banyuwangi sebagai kota santet masih bertahan sampai
sekarang. Hal ini seakan-akan menggambarkan bahwa penggunaan ilmu
santet dainggap wajar dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam
kehidupan bermasyarakat di Banyuwangi sehari-harinya.
Meskipun harus diakui santet itu memang ada
di tengah masyarakat Banyuwangi, namun orang luar sering salah kaprah
dalam memahami santet Banyuwangi dengan hanya mengaitkan dengan ilmu
sihir.
Padahal ilmu santet dalam masyarakat
Banyuwangi yang lebih banyak berkembang adalah ilmu santet yang
berkaitan dengan pengasihan, yaitu cara bagaimana menimbulkan rasa
simpati orang lain kepada yang menggunakan jasa ilmu tersebut. Bukan
jenis santet merah yang bertujuan melumpuhkan orang secara fisik dan
batinnya, atau santet hitam yang bertujuan menghilangkan nyawa orang
lain. Dan yang lebih penting, penggunaan santet hanya dilakukan sebagian
kecil orang, dan bukan merupakan kebiasaan atau budaya orang
Banyuwangi. Bahwa ada sebagian masyarakat Banyuwangi yang akrab dengan
dunia santet, itu tidak mewakili tipikal keseluruhan masyarakat
Banyuwangi.
Di sisi lain, kita juga tidak boleh menutup
mata bahwa yang namanya santet itu di Indonesia juga banyak terdapat di
berbagai daerah lain. Karena itu penyebutan kota santet untuk kota
seindah Banyuwangi sangat tidak tepat, tidak beralasan, dan tidak
seharusnya digunakan lagi, karena tidak ada manfaat yang diperoleh.
The Sunrise Of Java
Ini
adalah sebutan baru untuk Banyuwangi. Pemerintah Kabupaten Banyuwangi
menggunakan tagline baru tersebut untuk mempromosikan Banyuwangi sebagai
destinasi wisata. Sebutan ini menggambarkan bahwa Banyuwangi merupakan
tempat terbitnya mentari pagi pertama di Pulau Jawa. Di saat orang-orang
di kota lain di pulau jawa masih terlelap dalam tidurnya, masyarakat
Banyuwangi sudah menikmati hangatnya sinar mentari pagi. Letak
Banyuwangi yang berada di ujung paling timur Pulau Jawa, sangat pas
dengan dengan jargon ini. Karena tidak ada satu pun daerah lain di Pulau
Jawa yang bisa mengklaimnya selain Banyuwangi.
Di belahan dunia mana pun, spot terbaik dan
paling favorit untuk melihat sunrise atau matahari terbit adalah pantai
atau pegunungan. Selain memiliki Gunung Ijen, Banyuwangi yang memiliki
garis pantai terpanjang di Jawa Timur ini, menjanjikan banyak pilihan
spot untuk melihat sunrise. Banyak tempat strategis untuk melihat
sunrise di Banyuwangi, diantaranya pantai Cacalan, pantai boom, G Ijen,
pantai Bama di Taman Nasional Baluran, pantai Grajagan, dan gunung Ijen.
Banyuwangi Kota Kopi
Dari
semua julukan untuk Banyuwangi, mungkin yang masih belum banyak
diketahui dan perlu banyak sosialisasi adalah sebutan Banyuwangi Kota
Kopi. Banyuwangi sebagai Kota Kopi bukanlah sebutan yang mengada-ada.
Ada berbagai alasan yang kuat untuk mengukuhkan sebutan Kota Kopi untuk
Banyuwangi, diantaranya :
1. Banyuwangi dikenal sebagai daerah
penghasil kopi berkualitas tinggi. Kopi Banyuwangi telah diakui sebagai
salah satu kopi terbaik di dunia. Kualitas kopi Banyuwangi berada di
peringkat 4 setelah Jamiaca, Hawai dan Toraja. Pada ajang Miss Coffee
International 2012 yang berlangsung di Bali, para peserta yang berasal
dari seluruh dunia diajak berkunjung ke Banyuwangi untuk mengenal kopi
Banyuwangi. Mereka belajar menyangrai dan meracik kopi di desa Kemiren,
dan meninjau perkebunan kopi di lereng gunung Ijen. Dipilihnya
Banyuwangi karena dianggap memiliki kopi Robusta dan Arabica dengan
kualitas rasa yang unik untuk dikenalkan kepada dunia. Ini menunjukkan
bahwa kopi banyuwangi, selain mempunyai potensi besar untuk
dikembangkan, juga memiliki kualitas yang baik
2. Kopi Banyuwangi memiliki cita rasa yang
khas dan unik, terutama kopi yang dihasilkan dari perkebunan yang berada
di sisi timur dan sisi barat Gunung Ijen. Kopi yang dihasilkan antara
sisi barat dan timur Gunung Ijen memiliki rasa yang berbeda. Perkebunan
di sisi Timur menghadap laut dipengaruhi angin laut dan mendapat sinar
matahari yang lebih banyak, sehingga kadar garamnya tinggi. Sebaliknya
perkebunan di sisi barat dipengaruhi oleh angin gunung. Namun keduanya
menghasilkan kopi yang sama enaknya dan bercita rasa tinggi.
3. Budaya minum kopi telah menjadi bagian
dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Banyuwangi. Hal ini bisa
dibuktikan dengan banyaknya cafe, baik yang berupa kedai kopi/coffee
shop maupun keberadaan warung kopi kaki lima yang tersebar di semua
daerah/kecamatan Banyuwangi.
4. Menurut data, produksi kopi Banyuwangi
yang merupakan komoditas eksport yang diusahakan oleh perkebunan besar /
negara / swasta seluas 5.445 Ha dengan produksi 3.065 ton, sedang
perkebunan rakyat seluas 5.138 Ha dengan produksi sebanyak 3.667 ton,
dengan varietas / klon robusta, yang diusahakan pada ketinggian sampai
700 meter diatas permukaan laut, sedang pada daerah diatas 700 sampai
dengan 1000 meter diatas permukaan laut diupayakan untuk klon arabika.
Sumber lain menyebutkan, pada tahun 2006 komoditas kopi Banyuwangi yang
berada di dalam kawasan hutan produksi menghasilkan kontribusi sebesar
10.643 ton atau setara dengan Rp 247.230.000.
5. Untuk memperkenalkan potensi Banyuwangi
sebagai penghasil kopi terbesar di Jawa Timur kepada masyarakat luas,
pada 10 Desember 2011 diadakan Festival Sangrai Kopi masal di jalanan
desa Kemiren sepanjang 1 km yang diikuti 270 peserta. Kegiatan tersebut
tercatat dalam Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI) sebagai Rekor
Menyangrai Kopi Terpanjang dan Terbanyak di Indonesia.
Fakta pendukung lain yang memperkuat
positioning Banyuwangi sebagai Kota Kopi adalah adanya tradisi yang
disebut MANTEN KOPI di lingkungan perkebunan kopi, khususnya di PTP
Nusantara XII, Kebun Kaliselogiri, Kalipuro, Banyuwangi.
Di awal musim giling kopi di di PT Perkebunan
Nusantara XII Kebun Kaliselogiri, Kecamatan Kalipuro, Banyuwangi ada
aktifitas yang disebut RITUAL MANTEN KOPI sebagai wujud panjatan doa
masyarakat kepada Tuhan YME, supaya selama proses giling dijauhkan dari
berbagai marabahaya serta diberi limpahan rezeki.
Prosesi manten kopi ini mempertemukan biji
kopi “wedok” atau perempuan (terbelah) dengan kopi “lanang” atau laki
(bundar).Pertemuan sampel biji kopi wedok dengan biji kopi lanang
tersebut diwujudkan dalam bentuk kontrak atau janji antara asisten
tanaman (kepala afdeling) dengan manajer kebun yang dulu lebih akrab
disapa dengan administrator (adm).
Sebagai kepala afdeling punya tanggung jawab
moral kepada manajer kebun supaya terus menjaga kualitas dan kuantitas
biji kopi yang dipanen dari kebun yang berada di lereng Gunung Ijen
tersebut.
Biji kopi yang berkualitas adalah biji kopi
yang dipanen saat biji kopi sudah berwarna merah. Di sinilah asisten
tanaman bertanggungjawab untuk tetap menjaga kualitas biji kopi dengan
jumlah produksi yang lebih besar lagi.
Setelah ditandai acara penyerahan biji kopi
wedok dan kopi lanang, ritual dilanjutkan dengan memasukkan biji-biji
kopi tadi ke mesin penggilingan. Saat itulah penari gandrung dengan
iringan musiknya yang rancak menuju ruangan sortasi.
Di ruangan ini tiga penari paju gandrung
(tradisional) manari tiada henti. Sebagai kelengkapannya, pihak kebun
menyiapkan beberapa sesaji, di antaranya kepala sapi lengkap dengan “ugo
rampenya” (perlengkapan sesaji). Setelah itu, para undangan dan seluruh
keluarga besar kebun kembali berkumpul di aula untuk menikmati sajian
makanan berupa bubur merah, polo pendem, dan nasi tumpeng. Tidak lupa
ayam engkung, yakni ayam kampung utuh yang disajikan setelah diberi
rempah- rempah.
Sebelum acara makan bersama dimulai, kegiatan
ditutup terlebih dahulu dengan doa bersama yang dipimpin pemuka
masyarakat setempat. Kegiatan pentas penari gandrung tradisonal akan
dilanjutkan lagi pada malam harinya, selama semalam suntuk.
Menurut Sigit Prakoso, Manajer PTPN XII,
ritual manten kopi di Kebun Kali Selogiri sudah berlangsung sejak
puluhan tahun silam. Selain sebagai ungkapan rasa syukur dengan tibanya
musim panen kopi, ritual tersebut juga dimaksudkan untuk mempererat tali
silaturahim sesama keluarga kebun.
- Sebutan Kota Kopi atau The City of Coffee
ini jika dimasyarakatkan, akan menjadi sebutan pertama dan satu-satunya
bagi kota di Indonesia. Sesuai dengan Wikipedia Indonesia, belum ada
satu pun kota di Indonesia yang mempunyai julukan atau sebutan sebagai
Kota Kopi. Sebagai Kota Kopi, Banyuwangi punya slogan “Sekali Seduh,
Kita Bersaudara.” Ini menunjukkan bahwa kehangatan secangkir kopi mampu
menjadi perekat kebersamaan, meskipun satu sama lain tidak saling
mengenal sebelumnya.
Dengan sekilas paparan di atas, maka cukup
beralasan bila masyarakat Banyuwangi mengklaim daerahnya sebagai KOTA
KOPI. Dalam artian sebagai salah satu daerah penghasil kopi terbanyak di
Indonesia, dan mempunyai kualitas kopi internasional, masyarakatnya
memiliki kebiasaan minum kopi, dan Banyuwangi juga memiliki salah satu
tester dan juri Kopi internasional yang mumpuni, yaitu Setiawan Subekti.
Banyuwangi Kota Festival
Berawal
dari sukses penyelenggaraan kegiatan budaya Banyuwangi Ethno Carnival
pertama pada tahun 2011 lalu, maka pada tahun-tahun berikutnya seakan
tak terbendung lagi semangat dan kegairahan masyarakat Banyuwangi untuk
mengangkat potensi dan budaya daerah melalui rangkaian kegiatan yang
dikemas dalam tajuk BANYUWANGI FESTIVAL.
Di kota lain juga punya acara festival. Tapi
Festival Banyuwangi berbeda. Karena berlangsung selama 4 bulan
berturut-turut, dengan tema dan segmen beragam.
Maka sejak 2012 acara Banyuwangi Ethno
Carnival ditahbiskan menjadi agenda tahunan berbarengan dengan kegiatan
lain, baik yang bersifat seni, etnik budaya, fashion, sport tourism
sampai religi.
Dalam Banyuwangi Festival berbagai ragam
acara disajikan sebagai bentuk etalase besar dari potensi wisata dan
kekayaan budaya Banyuwangi yang beragam, lengkap dengan kehidupan
sosial-budaya masyarakatnya yang terbuka, egaliter, dan mempunyai jiwa
seni yang kuat. Sedikitnya ada 8 acara festival yang diadakan di
Banyuwangi dalam satu tahun. Diantaranya Banyuwangi Ethno Carnival,
Festival Batik, Festival Anak Yatim, Festival Jazz, Festival Kemiren,
Festival Pemuda, Festival Kuliner, dan Festival Kuwung.
Sehingga tidak salah jika Banyuwangi disebut
sebagai satu-satunya kota yang mempunyai agenda festival terbanyak di
Indonesia. Banyuwangi adalah Kota Festival sesungguhnya.
0 komentar:
Posting Komentar