Baturraden dikenal sebagai tempat pariwisata atau peristirahatan pegunungan sejak tahun 1928 yang memiliki hawa yang sejuk
ASAL USUL SEJARAH BATURRADEN
Sejarah atau cerita yang berhubungan dengan nama Baturraden itu ada dua
versi, yaitu versi Kadipaten Kutaliman dan versi Syekh Maulana Maghribi.
Baturraden berasal dari dua kata yaitu ‘Batur’ yang dalam bahasa Jawa
berarti Pembantu, Teman, atau Bukit dan ‘Raden’ yang dalam bahasa juga
berarti Bangsawan. Dilihat dari susunan kata-katanya, maka nama
Baturraden terdiri dari kata :
a. Batur – Radin, yang artinya tanah datar
b. Batur – Adi, yang artinya tanah yang indah
Dua macam nama tersebut bukan sesuatu nama yang berdiri sendiri tanpa
ada kaitannya dengan wilayah lain sepanjang lereng Gunung Slamet dari
arah barat ke timur sampai Dieng plateau (dataran tinggi Dieng).
Disekitar Baturraden juga terdapat beberapa nama diawali dengan kata
‘Batur’, seperti; Batur Agung, Batur Golek, Batur Semende, Batur
Sengkala, Batur Macan, Batur Duwur, Batur Wadas Galengan dan Batur
Begalan.
Versi Kadipaten Kutaliman
Pada Ratusan tahun silam konon terdapat sebuah Kadipaten ‘KUTALIMAN’
yang terletak 10 km disebelah Barat Baturraden. Adipatinya mempunyai
beberapa anak perempuan dan seorang ‘gamel’ (pembantu yang menjaga
kuda). Salah satu anak perempuannya jatuh cinta dengan gamel. Cinta
mereka dilakukan secara sembunyi-sembuyi. Sesudah mendengar berita,
bahwa anak perempuannya jatuh cinta dengan pembantunya, sang Adipati
marah dan mengusir gamel dan anak perempuannya dari rumah. Diperjalanan
dia melahirkan bayi didekat sungai, kemudian mereka menamakannya sungai
‘Kaliputra’. (Kali berarti Sungai dan Putra berarti anak laki-laki).
Letaknya kira-kira tiga kilometer sebelah utara Kutaliman. Akhirnya
mereka menemukan tempat yang indah dan memutuskan untuk tinggal di
tempat yang sekarang dikenal dengan nama ‘Baturraden’. Berdasarkan versi
pertama tersebut nama Baturaden seharusnya ditulis dengan dua ‘R’
karena versi tersebut berasal dari kata ‘Batur’ dan ‘Raden’ menjadi
‘BATURRADEN’.
Versi Syekh Maulana Maghribi
Konon di Negara Rum, bertahta seorang Pangeran bernama Syekh Maulana
Maghribi berasal dari Turki yang memeluk agama Islam dan dia adalah
seorang ulama. Pada waktu fajar menyingsing, setelah beliau melakukan
kewajibannya selaku orang muslim, terlihatlah oleh beliau cahaya terang
misterius bersinar disebelah timur menjulang tinggi di angkasa.
Terdorong oleh perasaan ingin mengetahui tempat darimana cahaya terang
misterius itu datang dan makna dari cahaya terang tersebut, maka
timbullah niat dan itikad yang kuat di dalam sanubarinya dan mencari
tempat yang dimaksud. Seorang sahabatnya bernama Haji Datuk dipanggil
dan diperintahkan supaya para hulubalang dan balatentaranya menyiapkan
armada dengan segala perlengkapannya untuk berlayar menuju kearah
datangnya cahaya misterius tersebut. Maka,berangkatlah si Pangeran
bersama-sama dengan sahabatnya itu 298 (dengan dua ratus sembilan puluh
delapan) orang pengikutnya mengarungi samudera menuju kearah terlihatnya
cahaya itu memancar selama 40 malam.
Kemudian sampailah mereka di ujung timur sebuah pulau yang bernama
dengan Pulau Jawa. Adapun tempat dimana mereka membuang sauh dewasa ini
terkenal dengan nama Pantai Gresik.
Meskipun mereka telah lama menempuh perjalanan penuh dengan berbagai
kesulitan dan penderitaan serta menghadapi bermacam-macam marabahaya,
mereka belum mencapai apa yang menjadi cita-cita atau tujuannya karena
cahaya terang misterius tersebut tampak disebelah barat. Pada suatu
waktu terlihat kembali cahaya terang yang sedang dicarinya itu disebelah
barat dan mereka mengambil keputusan kembali karah barat dengan
menempuh jalan di laut Jawa di pantai Pemalang Jawa Tangah, dimana
mereka berlabuh sambil sekedar melepas lelah. Ditempat ini Syekh Maulana
Maghribi meminta para armadanya untuk pulang ke negerinya, sedangkan
Syekh Maulana Maghribi ditemani oleh Haji Datuk dan untuk sementara
bermukim ditempat itu.
Karena mereka mempunyai kepercayan pada Yang Maha Pencipta, mereka
dijiwai oleh kekuatan Gaib yang tiada kunjung padam dan berketetapan
hati akan melanjutkan perjalanannya dengan jalan kaki menuju kearah
Selatan sambil menyebarkan agama Islam. Dari Pemalang mereka menuju ke
selatan menyusuri hutan belantara tanpa mengenal bahaya yang dihadapinya
karena tertarik sinar cahaya misterius yang sekarang terlihat di Timur
Laut. Berhubung jalur yang ditempuhnya itu meletihkan, maka mereka
berhenti sejenak untuk melepaskan lelahnya sambil termenung merasakan
kisah perjalanannya serta kewajibannya yang dibebankan diatas pundaknya
untuk menyebarluaskan agama Islam. Tempat dimana mereka beristirahat
dengan diliputi pikiran-pikiran (gagasan-gagasan) dan perasaan-perasaan
yang memenuhi hati sanubarinya diberi nama ‘Paduraksa’ yang artinya
bertengkar didalam kalbu atau rasa.
Dari tempat itu mereka meneruskan perjalanannya ke selatan lagi dan
sampailah mereka di hutan belukar dan untuk melepaskan lelahnya mereka
singgah diatas tonggak randu yang tumbang dan tempat tersebut mereka
beri nama ‘Randudongkal’. Dari tempat peristirahatannya itu, cahaya
terang masih kelihatan ada di timur laut, dan mereka meneruskan
perjalanannya menuju arah cahaya tadi. Dan sebelum mereka sampai
ketempat yang menjadi tujuannya mereka berhenti untuk beristirahat di
dekat Sendang (kolam) untuk melakukan ibadah Sholat, dan sesudahnya
tempat tersebut diberi nama ‘Belik’. Setelah melakukan Sholat, maka
perjalanan diteruskan kearah timur dan sampailah disuatu tempat, dimana
terdapat banyak batu-batuan dan di tempat tersebut mereka beristirahat
lagi sambil memikirkan bagaimana cara mereka dapat menjangkau tempat
kedudukan cahaya yang dicarinya, karena cahaya terang tersebut terlihat
ada dipuncak Gunung. Tempat dimana mereka beristirahat dan terdapat
banyak batu-batuan itu diberi nama ‘Watu Kumpul’.
Karena tekadnya yang kuat, pendakian itu dilakukan hingga akhirnya
sampailah mereka di tempat yang dituju. Terlihat oleh mereka seorang
pertapa yang menyandarkan dirinya pada sebatang pohon jambu yang
mengeluarkan sinar yang bercahaya menjulang tinggi ke angkasa.
Perlahan-lahan Syekh Maulana Maghribi dan Haji Datuk menuju mendekati
tempat tersebut sambil mengucapkan salam ‘Assalamu’alaikum’, tetapi
tidak dijawabnya oleh si petapa meskipun berulangkali diucapkan. Setelah
ternyata salamnya tidak mendapat jawaban, maka Haji Datuk berkata pada
Syekh Maulana Maghribi : ‘Kiranya pertapa itu adalah seorang Budha’.
Mendengar perkataan tersebut, si petapa itu lalu menjawab :
‘Sesungguhnya saya ini adalah orang Budha yang Sakti’. Mendengar
kata-kata sakti maka Syekh Maulana Maghribi meminta kepada pemeluk agama
Budha tadi, bahwa beliau ingin melihat atau menyaksikan
kesaktiannya,maka diambillah tutup kepalanya yang berupa kopiah itu
dapat terbang di angkasa. Syekh Maulana Maghribi tergolong orang yang
mempunyai kesaktian dan didorong oleh rasa ingin mengimbangi
kemukjizatan si pertapa itu, lalu melepaskan bajunya dan dilemparkan
keatas, ternyata baju tersebut dapat terbang di udara dan selalu
menutupi kopiah si pertapa yang menandakan bahwa kesaktiannya lebih
unggul dari kesaktian orang Budha itu,tetapi ia belum mau menyerah dan
masih akan mempertontonkan lagi kepandaiannya yang berujud menyusun
telur setinggi langit. Melihat keadaan tersebut diatas Syekh Maulana
Maghribi merasa heran, namun demikian ia tidak mau dikalahkan begitu
saja, maka dengan tenangnya diperintahkan kepada si pertapa agar ia mau
mengambil telur itu satu persatu dari bawah tanpa ada yang jatuh.
Ternyata pertapa itu tidak sanggup melakukannya. Karena si pertapa sudah
benar-benar tidak melakukannya hal tersebut, maka Syekh Maulana
Maghribi mengambil tumpukan telur tadi dimulai dari bawah sampai selesai
dengan tidak ada satupun yang jatuh.
Syekh Maulana Maghribi masih merasa belum puas dan masih meneruskan
perjuangannya sekali lagi dengan memperlihatkan pemupukan periuk-periuk
berisi air sampai menjulng tinggi. Lalu, Syekh Maulana Maghribi berkata :
‘Ambillah periuk-periuk itu satu demi satu dari bawah tanpa ada yang
berjatuhan’. Setelah ternyata tidak ada kesanggupan daari si pertapa,
maka beliau sendirilah yang melakukannya dan periuk yang terakhir itu
pecah dan airnya memancar kesegala penjuru.
Akhirnya si pertapa yang mengaku bernama ‘Jambu Karang’ (nama tersebut
berasal dari pohon sandarannya, yaitu sebatang pohon jambu dimana
disekelilingnya terdapat batu-batuan) menyerah kalah serta berjanji akan
memeluk agama Islam. Janji tersebut diterima oleh Syekh Maulana
Maghribi dan Jambu Karang diperintahkan untuk memotong rambut dan
kukunya dan selnjutnya dikubur di ‘Penungkulan’ (tempat dimana si
pertapa menyerah kalah). Kemudian dilakukan upacara penyucian dengan air
zam-zam yng dibawa oleh Haji Datuk dari Tanah Suci atas perintah Syekh
Maulana Maghribi dengan mempergunakan tempat dari bambu (bumbung).
Setelah upacara penyucian selesai, bumbung berisikan sisa air
disandarkan pada pohon waru, tetap karena kurang cermat menyandarkannya
maka robohlah bumbung tadi dan pecah sehingga air sisa tersebut
berhamburan dan di tempat tersebut konon kabarnya menjadi mata air yng
tidak mengenal kering dimusim kemarau.
Setelah pertapa disucikan menjadi pemeluk agama Islam, maka namanya
diubah menjadi ‘Syekh Jambu Karang’. KemudianSyekh Jambu Karang akan
mendapatkan wejangan (bai’at), beliau menunjukkan suatu tempat yang
serasi dan cocok untuk upacara bai’at tersebut yaitu diatas bukit
‘Kraton’. Sesaat setelah Syekh Jambu Karang menerima wejangan, turun
hujan lebat disertai dengan angin ribut yang mengakibatkan pohon-pohon
disekeliling tempat itu menundukkan dahan-dahannya seperti sedang
menghormati Gunung Kraton yaitu tempat dimana Syekh Maulana Maghribi
sedang memberikan wejangan (membai’at) Syekh Jambu Karang menjadi
seorang Muslim. Menurut hikayatnya, Syekh Jambu Karang mempunyai seorang
putri bernama ‘Rubiah Bhakti’ yang dipersunting oleh Syekh Maulana
Maghribi, setelah Syekh Jambu Karang menjadi seorang Muslim dengan mas
kawin berupa mas merah setanah Jawa. Setelah memperistrikan putri Syekh
Jambu Karang, Syekh Maulana Maghribi berganti nama menjadi ‘Atas Angin’.
Dari perkawinannya tersebut menurunkan lima orang putera dan puteri,
yaitu :
1. Makdum Kusen (Makam di Rajawana)
2. Makdum Medem (Makam di Cirebon)
3. Makdum Umar (Makam diKarimun Jawa)
4. Makdum (yang menghilang atau murca)
5. Makdum Sekar (Makam di Gunung Jembangan)
Adapun Syekh Jambu Karang tetap bermukim di Gunung Kraton, dan setelah
wafat dimakamkan ditempat itu pula dan tempat pemakamannya disebut
‘Gunung Munggul’ (puncak yang tertinggi didaerah itu).
Syekh Maulana Maghribi yang terkenal dengan ‘Mbah Atas Angin’ selama
empat puluh lima tahun bermukim disuatu tempat atau pedukuhan yang
bernama ‘Banjar Cahayana’ (mungkin tempat tersebut didiami setelah
menemukan cahayanya). Di tempat tersebut Mbah Atas Angin menderita
penyakit gatal-gatal yang susah disembuhkan. Hal ini menimbulkan
keprihatinan disertai dengan permohonan kepada Tuhan Yang Maha Esa
supaya diberi rahmat serta berkah terhindar dari penyakitnya itu.
Sesudah sholat Tahajud.dia mendapat Ilham bahwa dia harus pergi ke
Gunung ‘Gora’ dimana ia akan mendapatkan obat mujarab untuk menyembuhkan
penyakitnya itu. Kemudian pagi-pagi waktu Shubuh Mbah Atas Angin
bersama Haji Datuk pergi kearah barat dan pada siang hari sampailah
mereka dilereng Gunung Gora. Sesudah sampai di lereng Gunung Gora beliau
meminta Haji Datuk untuk meninggalkannya dan beristirahat sambil
menunggu di tempat yang datar, sebab Mbah Atas Angin akan meneruskan
perjalanannya kearah suatu tempat yang mengepulkan asap. Ternyata disitu
ada sumber air panas dan Syekh Maulana Maghribi menyebutnya ‘Pancuran
Pitu’ yang artinya sebuah sumber air panas yang mempunyai tujuh mata
air. Setiap hari Syekh Maulana Maghribi mandi secara teratur di tempat
itu, dengan begitu dia sembuh dari penyakit gatalnya. Sesudahnya beliau
memanjatkan do’a syukur kehadirat Illahi serta mengucap syukur
bahwasanya ia telah dikaruniai sembuh dari sakitnya yang telah sangat
lama dideritanya. Setelah ia kembali ketempat dimana Haji Datuk
menunggu, ia berkata : Saksikanlah, saya sekarang telah sembuh dari
sakitku dan telah terhindar dari penderitaan.
Selanjutnya Dia mengganti nama Gunung Gora itu menjadi ‘Gunung Slamet’.
Slamet dalam bahasa Jawa berarti aman. Selama Syekh Maulana Maghribi
berobat di Pancuran Pitu, Haji Datuk tetap dan taat menunggu ditempat
yang ditunjuk semula dan kepadanya diberi julukan ‘Haji Datuk Rusuladi’.
Rusuladi artinya ‘Batur Yang Baik’ (Adi).
Dan konon kabarnya tempat tersebut oleh penduduk sekitarnya hingga kini disebut dengan ‘BATURRADEN’.
Pages
Diberdayakan oleh Blogger.
0 komentar:
Posting Komentar